Senin (12/09).
Siang itu, aku menemani seorang adik tingkat ke kampus. Maklum masih mahasiswa baru jadi belum paham betul dengan seluk-beluk dan urusan kampus. Aku sebenarnya juga tidak begitu paham, sih. Adik ini yang selanjutnya kita sebut si W merupakan salah satu maba yang tergabung dalam kelompok dimana aku berperan sebagai kakak fasilitator mereka, di acara ospek fakultas. Jadi lumayan akrab. Tapi lucunya, bukan dia pemeran utama dalam tulisan kali ini.
Si W menghubungiku sekitar setengah sebelas pagi, ada keperluan untuk ke kampus katanya. Sebenarnya si W tidak meminta ditemani ke kampus. Tapi tidak tahu kenapa, aku memutuskan untuk menemani. Selain khawatir dia akan kebingungan, kebetulan juga aku baru ada kelas di sore hari. Kami janjian ke kampus jam 2 siang. Sembari menunggu bapak yang ingin ditemui si W, kami berbincang di depan ruangan. Sepertinya sekitar setengah jam kami menunggu.
Nah, pemeran utamanya masuk (fyi aja, nih).
Seorang mahasiswi lengkap dengan jas lab dan tas di punggungnya datang tergesa-gesa. Nafasnya ngos-ngosan. Mahasiswi yang selanjutnya kita sebut si E ini ternyata sedang mencari ruangan kelas praktikum yang sepertinya sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Setelah kutanya lebih detail, ternyata ruangan yang si E cari bukan berada di gedung ini, tapi di gedung lain yang jaraknya lumayan jauh (kalau jalan kaki). Dan lebih buruknya lagi, si E tidak membawa motor. Aku bisa melihat ekspresi takut dan bingung lewat matanya.
Karena kasihan, aku memutuskan untuk mengantar si E ke gedung yang dimaksud. Usut punya usut, ternyata si E terlambat karena kelas praktikannya (si E sebagai asisten praktikum) mepet dengan kelas praktikumnya. Selisih waktu istirahat dua puluh menit (kalau tidak salah), dan habis "dikorupsi" dosennya. Di perjalanan si E mengucapkan terima kasih kepadaku yang sudah mengantar. 'Saya gatau lagi kalo ga ada kakak, mungkin saya udah nangis' katanya.
Apa pelajaran yang bisa aku (dan mungkin kamu) ambil dari kejadian sepuluh menit di atas?
Pertama, jujur sepulang aku mengantar si E ke tujuannya, aku merinding. Aku penasaran, kira-kira si E habis berbuat hal baik apa hingga Allah membuat skenario yang sangat epic. Aku percaya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Mulai dari si W yang mau ke kampus, lalu aku yang ingin menemani (padahal biasanya agak mager keluar rumah siang-siang apalagi dadakan, kecuali ada kelas), terus kami yang menunggu sekitar tiga puluh menit (kalau bapak yang ingin ditemui si W ada di ruangan ketika kami datang, aku tidak akan bertemu dengan si E). Ini sangat epic menurutku. Allah punya cara yang tidak disangka-sangka untuk menolong kita.
Kedua, aku jadi lebih optimis dalam memandang suatu persoalan. Belakangan ini aku sering kepikiran terkait penelitian skripsiku yang kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menemukan responden. Tapi lewat kejadian di atas, aku semacam mendapat kekuatan baru. Allah pasti akan bantu.
Ketiga, jikalau di masa yang akan datang aku menjadi seorang pengajar. Aku berjanji untuk lebih menghargai peserta didikku. Minimal konfirmasi kalau terlambat masuk kelas dan tidak mengorupsi jam istirahat mereka. Aku mengalami sendiri, menunggu dosen berjam-jam di room zoom tapi ujung-ujungnya kelas dibatalkan, dosen berhalangan hadir. Kenapa tidak konfirmasi dari awal?. Sayang paket data terbuang percuma, yang pakai Wi-Fi mah paling kehabisan baterai (benerkan ya?).
Sayang kalo kejadian sekeren ini cuma kusimpan sendiri. Semoga bermanfaat dan dapat memotivasi kita semua untuk selalu berbuat baik. Semua perbuatan ibarat boomerang, ia akan kembali kepada kita.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir hihi :))
keren
BalasHapus